masagus-doctorinspira.com

Trilogi Refleksi:
Ilmu, Ruh, dan Diri di Tengah Kemajuan

Ada masa ketika ilmu dipandang sebagai cahaya yang menuntun manusia menuju Tuhan. Ilmu bukan sekadar akumulasi pengetahuan, melainkan perjalanan batin — sebuah upaya menyatukan akal, hati, dan iman dalam satu tarikan napas kesadaran. Namun dunia berubah cepat. Kemajuan teknologi menjadikan ilmu berlimpah, tapi kebijaksanaan semakin langka.

Trilogi reflektif ini lahir dari kegelisahan yang perlahan tumbuh di tengah kemudahan modern. Saya menulisnya bukan sebagai kritik terhadap kemajuan, melainkan sebagai ajakan untuk menengok kembali makna terdalam dari menjadi manusia yang berilmu. Sebab di balik data, algoritma, dan pencapaian, ada pertanyaan yang lebih sunyi:

Apakah kita masih tahu untuk apa kita mencari tahu?

Bagian pertama, “Ilmu Tanpa Hikmah,” berbicara tentang hilangnya keheningan dalam proses belajar. Tentang bagaimana kemudahan teknologi membuat pengetahuan begitu dekat, namun hikmah terasa jauh.

Bagian kedua, “Ketika Ilmu Kehilangan Ruh,” menyentuh dunia akademik yang semakin mekanis. Tentang bagaimana penelitian dan publikasi sering menjadi rutinitas yang kehilangan makna spiritual, hingga ilmu tak lagi menumbuhkan kebijaksanaan.

Dan bagian ketiga, “Manusia yang Kehilangan Diri di Tengah Kemajuan,” menjadi renungan eksistensial — tentang manusia modern yang mengetahui segalanya, kecuali siapa dirinya sendiri.

Ketiga tulisan ini bukan jawaban, melainkan perjalanan pencarian. Sebuah ajakan untuk berhenti sejenak di tengah arus informasi, menengok ke dalam diri, dan mungkin — menemukan kembali arah yang perlahan hilang.

Sebab sejatinya, ilmu yang sejati bukan yang membuat kita merasa tahu, tetapi yang membuat kita merasa dekat — kepada diri, kepada sesama, dan kepada Sang Pencipta segala pengetahuan.

“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”

Seri 1 - Ilmu Tanpa Hikmah: Catatan Seorang Pencari di Zaman yang Serba Cepat

Kadang saya berpikir, betapa anehnya zaman ini.

Segala hal begitu mudah diakses: kitab klasik yang dulu hanya bisa dibaca di perpustakaan besar kini tersedia gratis di layar ponsel. Jarak antara pencari ilmu dan sumber ilmu seolah lenyap. Tapi di tengah kemudahan itu, saya justru merasa ada sesuatu yang hilang — sesuatu yang halus, yang tidak bisa diunduh atau dicetak. Mungkin itu yang dulu disebut para ulama sebagai hikmah.

Dulu, seorang ulama rela menempuh perjalanan berbulan-bulan hanya untuk memastikan satu hadis. Ia tidak hanya mencari kebenaran teks, tapi juga keberkahan perjumpaan. Ilmu, bagi mereka, bukan sekadar kumpulan konsep, tetapi perjalanan batin — sebuah suluk menuju pemahaman diri dan Tuhan. Kini, perjalanan itu digantikan oleh scrolling. Kita memang cepat mengetahui sesuatu, tapi apakah kita sungguh memahami?

Saya sering merasa, kemajuan teknologi telah menjadikan kita pintar, tetapi belum tentu bijak. Kita bisa mengakses seribu tafsir dalam hitungan detik, tapi kehilangan kemampuan untuk duduk tenang, membaca pelan, dan membiarkan makna menetes ke dalam jiwa. Kita seolah tahu banyak hal, namun kehilangan rasa takjub terhadap pengetahuan itu sendiri.

Di masa lalu, ulama menulis dengan pena, kertas, dan kesadaran bahwa setiap kalimat adalah amanah. Mereka menulis bukan untuk menjadi terkenal, tapi untuk memberi manfaat. Kini, kita menulis dengan perangkat canggih, dikelilingi notifikasi, dan sering kali digerakkan oleh algoritma yang menentukan mana yang “layak dibaca.” Dunia menjadi bising oleh informasi, tapi sepi dari perenungan.

Saya tidak sedang memuja masa lalu. Saya sadar bahwa setiap zaman punya kelebihannya sendiri. Teknologi adalah nikmat yang luar biasa. Ia membuka akses, mempercepat komunikasi, dan mempermudah penelitian. Tapi saya juga sadar, teknologi tidak pernah netral; ia membawa cara berpikirnya sendiri. Dalam dunia yang diatur oleh kecepatan dan efisiensi, manusia mulai kehilangan ruang untuk hening. Kita berlari mengejar ilmu, tapi jarang berhenti untuk memastikan arah.

Heidegger pernah mengatakan bahwa bahaya terbesar teknologi adalah ketika manusia tidak lagi sadar bahwa ia sedang dikuasai oleh teknologi itu sendiri. Dan saya merasa, dalam banyak hal, kita sedang mengalaminya. Kita tidak lagi sekadar menggunakan teknologi untuk mencari ilmu — kita kini menyesuaikan cara berpikir agar cocok dengan logika mesin: cepat, ringkas, dan tanpa kedalaman.

Padahal, dalam tradisi Islam, ilmu bukan sekadar “tahu.” Ia adalah “menjadi.” Menjadi lebih rendah hati, lebih halus budi, dan lebih dekat kepada Allah. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa ilmu tanpa adab adalah kebodohan yang berwajah lain. Imam Ibn ‘Ataillah menulis, “Ilmu yang tidak menambah takutmu kepada Allah, justru akan menjadi hujjah atasmu di hari kiamat.” Kalimat itu membuat saya sering merenung: seberapa jauh pengetahuan yang saya kumpulkan benar-benar membuat saya mengenal-Nya?

Saya juga menyadari bahwa ulama masa lalu hidup dalam kesunyian yang produktif. Mereka tidak sibuk membandingkan diri dengan orang lain. Mereka hidup dalam ritme yang lambat tapi penuh makna. Kini, dunia akademik dan sosial kita sering kali mendorong kecepatan tanpa kedalaman — mengejar publikasi, bukan pemahaman; mengejar pengakuan, bukan kebijaksanaan.

Mungkin karena itu, meskipun ilmu pengetahuan berkembang pesat, kita jarang menemukan sosok-sosok sebesar Imam Syafi‘i, Ibn Sina, atau Al-Farabi. Bukan karena kita kurang pintar, tapi karena kita kehilangan ruang batin tempat ilmu tumbuh dengan tenang. Hikmah tidak bisa lahir di tengah kebisingan; ia tumbuh dari keheningan dan keikhlasan.

Saya tidak ingin menolak kemajuan, karena menolak zaman sama saja menolak takdir sejarah. Tapi saya percaya bahwa kemajuan sejati bukan soal seberapa cepat kita menemukan jawaban, melainkan seberapa dalam kita memahami pertanyaan. Ilmu yang sejati adalah yang membuat manusia sadar akan keterbatasannya, bukan yang membuatnya sombong karena merasa tahu segalanya.

Kini saya belajar untuk memperlambat langkah. Untuk membaca dengan hati, bukan sekadar dengan mata. Untuk mendengarkan suara sunyi di antara riuhnya data. Untuk menulis tidak hanya karena ingin berbagi, tapi juga karena ingin menyembuhkan diri sendiri. Mungkin di situlah letak kemajuan sejati — bukan pada mesin yang semakin cerdas, tapi pada manusia yang tetap lembut jiwanya di tengah derasnya arus informasi.

Ilmu tanpa hikmah hanyalah beban intelektual. Tapi ilmu yang lahir dari hati yang tunduk, dari pencarian yang jujur, dari diam yang penuh doa — itulah yang menerangi. Dan di tengah dunia yang semakin bising ini, barangkali yang paling berilmu bukanlah mereka yang tahu banyak hal, tapi mereka yang masih mampu diam, merenung, dan berkata dengan jujur: “Aku belum tahu, tapi aku sedang mencari.”

Seri 2 - Ketika Ilmu Kehilangan Ruh: Krisis Makna di Era Akademik Digital

Saya sering berpikir, mungkin ini zaman yang paling sibuk dalam sejarah manusia, tapi juga yang paling sunyi. Setiap hari ribuan artikel lahir, jutaan data diolah, dan tak terhitung penelitian dilakukan. Dunia seolah dipenuhi cahaya ilmu — tapi cahaya itu terasa dingin, tanpa kehangatan. Ia menerangi ruangan, tapi tidak lagi menyinari hati.

Dulu, ilmu adalah perjalanan ruhani. Orang menulis bukan hanya untuk mencatat hasil, tapi untuk mendekatkan diri pada kebenaran. Sekarang, ilmu lebih sering menjadi angka: jumlah publikasi, indeks sitasi, peringkat universitas, akreditasi jurnal. Kita hidup di masa ketika kejujuran intelektual sering kalah oleh ambisi akademik. Ilmu kehilangan napasnya, dan manusia kehilangan arah pencariannya.

Saya kadang melihat rekan-rekan peneliti bekerja siang dan malam — bukan untuk menjawab pertanyaan besar kehidupan, tapi untuk memenuhi tenggat waktu submission. Bukan karena haus makna, tapi karena takut tidak terakreditasi. Dan di tengah hiruk-pikuk itu, saya bertanya dalam hati: di mana ruh ilmu itu kini bersembunyi?

Ilmu yang sejati selalu tumbuh dari keheningan. Ia menuntut waktu untuk merenung, untuk memahami makna di balik data, dan untuk melihat manusia di balik teori. Tapi di era digital ini, keheningan menjadi barang langka. Semua serba cepat, serba terukur, serba harus menghasilkan sesuatu yang “terlihat.” Kita lupa bahwa tidak semua yang penting dapat diukur, dan tidak semua yang terukur benar-benar penting.

Saya teringat ucapan Imam Al-Ghazali, “Ilmu yang tidak mendekatkanmu kepada Allah, justru menjauhkanmu dari-Nya.” Kalimat itu seperti tamparan halus bagi dunia akademik hari ini. Kita mungkin semakin tahu bagaimana dunia bekerja, tapi apakah kita semakin tahu mengapa kita hidup di dalamnya?

Ilmu yang kehilangan ruh menjelma menjadi rutinitas. Ia tidak lagi menggetarkan jiwa, tidak lagi menumbuhkan rasa takjub. Ia menjadi mekanis — seperti mesin yang berputar tanpa arah. Di balik tumpukan laporan penelitian, sering kali tersembunyi kelelahan batin yang tak diucapkan. Manusia menjadi pelayan bagi sistem yang diciptakannya sendiri.

Saya tidak menolak sistem akademik, karena saya juga hidup di dalamnya. Tapi saya percaya ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar memenuhi target publikasi. Ilmu seharusnya menyembuhkan, bukan sekadar menghasilkan. Ia seharusnya menumbuhkan rasa syukur dan kekaguman kepada Sang Pencipta, bukan hanya kepuasan karena diterima di jurnal bereputasi.

Mungkin, inilah wajah paradoks kemajuan: di satu sisi, manusia semakin pandai mengukur hal-hal kecil; di sisi lain, ia kehilangan kemampuan memahami hal-hal besar. Kita tahu bagaimana alam semesta terbentuk, tapi tak tahu bagaimana menjaga maknanya dalam diri. Kita tahu cara membuat teknologi canggih, tapi lupa cara duduk tenang dan berbicara dengan hati sendiri.

Saya yakin, ilmu tidak mati. Ia hanya tertutup debu ambisi dan kesibukan. Ia menunggu manusia yang berani berhenti, diam, dan mendengarkan lagi suara lembutnya. Karena ilmu sejati selalu berbisik, bukan berteriak. Ia berbicara kepada jiwa yang hening, bukan kepada pikiran yang riuh.

Mungkin sudah saatnya kita memperlambat langkah. Menulis tidak hanya karena kewajiban, tetapi karena kerinduan untuk memahami. Meneliti tidak hanya demi pengakuan, tetapi demi menemukan kembali hubungan antara akal dan nurani. Sebab ilmu tanpa ruh hanyalah kerangka tanpa kehidupan — dan manusia yang menuntut ilmu tanpa makna hanyalah bayangan tanpa arah.

Dan ketika semuanya terasa terlalu cepat, terlalu bising, terlalu dangkal, saya selalu mengingat doa sederhana yang dulu diajarkan guru saya:

“Ya Allah, tunjukilah aku ilmu yang bermanfaat, bukan sekadar yang banyak. Jadikan ilmuku cahaya yang menerangi jalan, bukan beban yang menambah gelap.”

Seri 3 - Manusia yang Kehilangan Diri di Tengah Kemajuan

Kadang saya merasa dunia ini berjalan terlalu cepat. Kita berlari bersama teknologi, berpacu dengan waktu, mengejar target demi target — tapi entah ke mana sebenarnya kita menuju. Dunia modern menjanjikan kemajuan, tapi di tengah segala kemudahan, saya sering merasa manusia justru semakin jauh dari dirinya sendiri.

Kita hidup di zaman yang paling terang secara pengetahuan, tapi paling gelap secara makna. Semua dapat dijelaskan, tapi sedikit yang benar-benar dipahami. Kita tahu bagaimana otak bekerja, tapi lupa bagaimana hati berbicara. Kita mengenal dunia luar dengan sangat rinci, tapi dunia dalam diri kita sendiri terasa asing.

Manusia modern seolah tahu segalanya, kecuali siapa dirinya.

Dulu, para pemikir dan sufi mencari ilmu bukan untuk menaklukkan dunia, tapi untuk mengenal diri — dan lewat diri, mengenal Tuhan. “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” begitu kata hadis yang sering dikutip dengan penuh getar. Tapi kini, manusia mengenal banyak hal kecuali dirinya sendiri. Ia sibuk membangun citra, tapi kehilangan jati diri; sibuk berbicara, tapi tak sempat mendengarkan suara batin yang paling dalam.

Teknologi telah mengubah cara kita berpikir tentang kemajuan. Dahulu, kemajuan diukur dari kedewasaan jiwa; sekarang, dari kecanggihan alat. Kita menciptakan mesin yang bisa berpikir, tapi lupa bagaimana berpikir dengan hati. Kita menciptakan sistem yang bisa meniru empati, tapi kehilangan empati yang sejati. Dalam upaya menguasai dunia, kita kehilangan kemampuan untuk menguasai diri.

Saya sering melihat manusia modern seperti cermin yang retak: memantulkan banyak wajah, tapi tak lagi utuh. Kita hidup dalam banyak peran — akademisi, profesional, peneliti, pemimpin — tapi di balik semua itu, sering ada ruang kosong yang sunyi. Sebuah kesunyian eksistensial yang tidak bisa diisi dengan pencapaian apa pun.

Filsuf modern seperti Kierkegaard menyebutnya “keputusasaan diam-diam” — manusia yang tampak berhasil di luar, tapi hampa di dalam. Dalam Islam, mungkin ini yang disebut sebagai hati yang lalai (ghaflah): hidup dalam kesibukan yang tak pernah memberi ketenangan.

Namun saya percaya, di balik semua kegaduhan itu, masih ada jalan pulang.

Manusia tidak sepenuhnya tersesat — ia hanya tertidur di tengah cahaya yang menyilaukan. Kadang Tuhan tidak menunggu kita mencari-Nya di langit tinggi, tetapi menunggu kita kembali menengok ke dalam diri. Sebab di sanalah, di ruang sunyi yang sering kita abaikan, Dia selalu bersemayam.

Kemajuan tidak harus dihapus, hanya perlu diarahkan. Ilmu tidak harus ditinggalkan, hanya perlu disucikan kembali. Kita tidak perlu mundur dari dunia modern, tapi perlu menapaki modernitas dengan kesadaran spiritual yang jernih. Sebab sejatinya, teknologi hanyalah alat; yang menentukan arah adalah jiwa yang memegangnya.

Saya belajar bahwa menemukan diri bukanlah perjalanan keluar, tapi kembali ke dalam. Bukan tentang menjadi lebih hebat, tapi menjadi lebih sadar. Dan kesadaran itu muncul ketika manusia berhenti sejenak — di tengah arus informasi, di tengah ambisi, di tengah sorak kemajuan — dan bertanya dengan jujur: siapa aku, untuk apa aku hidup, dan ke mana aku akan kembali?

Mungkin, di situlah titik temu antara filsafat dan tasawuf, antara ilmu dan iman: keduanya mengajak manusia untuk pulang. Pulang kepada kesadaran bahwa segala yang besar di luar diri tidak akan berarti jika diri sendiri hilang arah.

Kini saya tidak lagi memandang kemajuan sebagai musuh, tapi sebagai cermin. Ia menunjukkan betapa hebatnya akal manusia, tapi juga betapa rapuhnya jiwa tanpa arah. Dan di titik kesadaran itu, saya menemukan ketenangan kecil: bahwa mungkin tugas manusia modern bukan lagi sekadar menciptakan sesuatu yang baru, tapi menghidupkan kembali yang lama — yaitu kesadaran akan dirinya sendiri.

Sebab tanpa kesadaran diri, semua kemajuan hanyalah perjalanan tanpa tujuan.

Dan tanpa kesadaran Tuhan, semua pengetahuan hanyalah cahaya yang tak memberi arah.

Tentang Menjadi Pencari

Pada akhirnya, segala tulisan, bacaan, dan renungan hanya mengantar kita sampai pada satu titik: kesadaran bahwa manusia bukanlah pemilik kebenaran, melainkan pengembara di jalannya. Kita mencari bukan untuk menguasai, tetapi untuk mengerti. Bukan untuk menjadi yang paling tahu, tetapi untuk menjadi yang paling sadar.

Zaman telah berubah — begitu cepat, begitu bising. Ilmu menumpuk, namun keheningan menipis. Kita mampu menjelajahi langit dan memetakan DNA kehidupan, tapi sering gagal memahami mengapa hati terasa kosong di tengah semua itu. Di sinilah letak keindahan sekaligus tragedi manusia modern: ia menang atas dunia, namun kalah atas dirinya sendiri.

Menjadi pencari hari ini berarti berani berjalan perlahan. Berani diam ketika dunia menuntut tergesa. Berani mempertanyakan makna ketika yang lain sibuk mengejar hasil. Sebab pencarian sejati bukanlah tentang seberapa jauh kaki melangkah, tetapi seberapa dalam hati mengenali dirinya sendiri.

Mungkin kita tak lagi hidup di zaman para mujtahid besar, para filosof sejati, atau para ulama yang menulis dari keheningan jiwa. Tapi itu tidak berarti jalan itu tertutup. Hikmah tidak pernah mati — ia hanya menunggu manusia yang mau berhenti sejenak untuk mendengarnya kembali.

Maka biarlah kita terus menjadi pencari, dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan.

Karena di antara keterbatasan itulah, Tuhan sering kali memilih untuk menampakkan cahaya-Nya paling lembut.

“Dan mereka yang terus mencari, meski tak pernah sampai, sesungguhnya telah dekat — karena mereka masih berjalan.”